Thursday, June 23, 2005

article

Tulisan Kak Riris sama Bang Togi ada di Harian Sinar Harapan. A big thought come in a small package.
.

Tentang Staf Ahli dan Staf Pribadi di DPR

Oleh: Riris Katharina dan Poltak Partogi Nainggolan

Reformasi kelembagaan DPR harus dimulai dari para anggotanya sendiri. Tanpa demikian, DPR sebagai lembaga tidak akan berubah. Ketika ada fasilitas untuk mengadakan asisten pribadi, terdapat anggota DPR yang tidak mempekerjakan asisten pribadi sesuai dukungan finansial. Ada pula anggota DPR yang mempekerjakan keluarga atau temannya yang tidak berkualifikasi.

Sebuah realita, ketika kebutuhan akan staf ahli berusaha dipenuhi dengan anggaran Sekretariat Jenderal (Sekjen) DPR, di antara orang yang ditempatkan sebagai staf ahli terdapat mantan anggota DPR yang tidak memiliki keahlian. Dari sudut pandang usia dan kapabilitas, sulit bagi DPR untuk mendapatkan bantuan keahlian yang maksimal.

Yang lebih parah lagi, para pengambil keputusan di Sekjen DPR berlomba memasukkan pensiunan birokrat di institusi itu untuk menjadi staf ahli para anggota DPR, sekalipun latar belakang pekerjaan dan pendidikannya jauh dari yang dibutuhkan. Sementara, institusi yang sudah ada, yakni Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (P3I) yang dibentuk sejak masa Ketua DPR, Kharis Suhud (belajar dari Congressional Research Services – CRS di Washington DC, AS), sampai saat ini tidak dikembangkan maksimal. Padahal, investasi yang ditanamkan sudah demikian besarnya, baik dari APBN maupun lembaga donor asal luar negeri. Universitas Indonesia, Asia Foundation dan Konrad Adenauer Stiftung, banyak membantu dalam pembangunan database dan SDM-nya, sehingga dewasa ini telah terdapat 40 peneliti dari berbagai latar belakang disiplin ilmu, lulusan Inggris, Australia, AS, dan lain-lain.

Kaya Struktur, Miskin Fungsi

Yang lebih ironis, munculnya Keppres No. 13 tahun 2005 tentang struktur baru Sekjen DPR
awal Maret 2005. Sasarannya untuk memperbanyak jabatan struktural eselon I, II, III, dan IV, yang tidak ada kaitannya dengan fungsi pengkajian, penelitian, ataupun pelayanan informasi ilmiah yang dibutuhkan. Keberadaan sebuah pusat pengkajian seperti dimaksud berada dalam status ”dapat dibentuk,” sehingga merefleksikan ketidakseriusan DPR dan lembaga Sekjen-nya untuk membangun institusi pendukung yang andal.

Terlihat sekali struktur Sekjen DPR sebagai lembaga pelayanan untuk para anggota DPR menganut prinsip ”kaya struktur, miskin fungsi”. Struktur seperti ini membawa konsekuensi membengkaknya anggaran, namun tidak menjawab keluhan para anggota DPR atas keperluan pekerja ilmiah, ahli, yang dapat bekerja penuh waktu.

Muncul pertanyaan, jika para tenaga ahli permanen yang ada di P3I tidak dimanfaatkan dengan baik, apakah ada jaminan tenaga yang baru direkrut dari luar memiliki pendidikan sederajat dengan tenaga yang telah ada, dan juga akan dimanfaatkan maksimal? Persoalan ini belum
menyangkut tenaga ahli lain di DPR, seperti para perancang UU dan perencana anggaran dan pustakawan, yang dalam tugas mereka juga terkait dengan penyediaan informasi ilmiah dan analisis. Jumlah mereka puluhan, dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dapat diandalkan. Ketidakseriusan DPR membangun dan mengembangkan pelayanan ilmiah, dapat dilihat pula dari kondisi perpustakaannya yang telah dipindah-pindah berulang kali, tahun 1997,1999, dan tahun 2005, dengan mengorbankan banyak dokumen dan risalah berharga sejak masa KNIP. Apakah eksistensi perpustakaan sebagai sumber informasi diakui atau dibutuhkan DPR?

Agenda Reformasi

Usul mengadakan dan memperbanyak staf ahli pribadi untuk para anggota DPR, tidaklah buruk. Namun harus dipahami, di AS, staf ahli pribadi para anggota Kongres yang mencapai puluhan, dibiayai para anggota Kongres sendiri. Jika dibebankan pada negara dapat disalahgunakan untuk kebutuhan pribadi. Para anggota Kongres dapat membiayai staf ahli pribadi, karena didukung dana yang dikumpulkan para pendukung mereka lewat kegiatan fund raising yang sah. Namun tidak boleh melebihi jumlah tertentu, untuk mencegah praktik money-politics. Kegiatan yang menjadi bagian dari demokrasi politik AS ini juga digunakan untuk membiayai komunikasi dengan konstituen.

Eksistensi staf ahli pribadi di Kongres AS bersifat non-institusional dan tidak permanen. Karena
sifatnya pribadi, mereka tentu saja sulit dikatakan independen, atau cenderung akan menjadi partisan. Sementara, staf ahli yang permanen seperti di CRS, seluruhnya adalah kalangan non-partisan, yang bekerja semata-mata untuk lembaga Kongres. Mereka wajib melayani para anggota Kongres lintas partai dan komisi. Eksistensi dan cara kerja P3I di DPR, juga independen dan non-partisan, meniru CRS-Kongres AS itu. Sama-sama pula berkembang dari sebuah perpustakaan keparlemenan, yakni Library of Congress, yang telah eksis selama lebih dari 200 tahun dan perpustakaan DPR yang telah ada sejak KNIP berdiri tahun 1945.

Pengadaan staf ahli yang institusional jauh lebih murah daripada yang pribadi. Sebab, para anggota DPR tidak perlu lagi mengeluarkan biaya pribadi karena staf ahli permanen telah disediakan Sekjen DPR. Karena tidak dibiayai pribadi atau fraksi/partai, mereka akan bekerja lebih independen atau non-partisan.

Status pekerja ilmiah itu harus direformasi agar tidak menjadi bagian dari birokrasi atau pegawai pemerintah di bawah Sekretariat Negara. Di AS, Prancis, dan Australia, para tenaga ahli itu pegawai negara, tetapi mereka bukan bagian dari birokrasi pemerintah.

Kesetiaan mereka bukan kepada pemerintah yang berkuasa, tetapi kepada negara yang diperlihatkan dengan pelayanan mereka kepada para anggota parlemen. Kesetiaan ini dapat dijamin, karena gaji dan karir mereka ditentukan oleh para anggota parlemen dengan otonomi anggaran yang mereka miliki, bukan pemerintah yang berkuasa. Mengubah kedudukan para pegawai Sekjen DPR dari bagian birokrasi pemerintah harus dilakukan, jika memang DPR ingin
memiliki sistem pendukung yang dapat dipercaya.

DPR dapat melakukannya sekalipun menyangkut pengalihan pembiayaan dari pemerintah karena telah diberikan kewenangan dalam menentukan anggarannya sendiri. Akhirnya, reformasi kelembagaan di DPR berpulang kepada kemauan, keseriusan, dan kecakapan anggota DPR dalam
memahami permasalahan. Juga dalam menggunakan anggaran secara baik dan efektif.

Kedua penulis adalah peneliti masalah-masalah parlemen.

No comments: