Friday, February 17, 2006

titip

Dari Kompas, 17 Februari 2006

Titip
TULUS SUDARTO

Tanpa dinyana pola dasar pergaulan sosial kita adalah titip-menitip. Ketika mendaftar anaknya ke sebuah instansi, bapak sekadar berkata kepada orangdalam berkedudukan strategis di lembaga itu: Aku titip si Anu, ya. Si anak diterima. Aneka ujian jadi formalitas belaka. Setiap partai menitipkan orangnya untuk menduduki posisi tertentu di suatu departemen atau BUMN. Ketika ada kenalan yang hendak pergi belanja, dengan enak orang akan titip suatu barang untuk dibelikan.

Ada dua alasan mengapa orang menitip: memangkas biaya sosial yang seharusnya dikeluarkan (alasan ekonomis) dan mencipta ruang longgar untuk menancapkan kepekatan relasional (alasan ideologis). Sesering kita dititipi orang lain, sesering itu pula kita menggemukkan Bank Budi yang merupakan tabungan jangka panjang untuk satu saat kita berhak menangguk bunga hasil titip-menitip itu.

Kata titip tetap akan mandul kalau kita meleset memahaminya sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Ia bersifat sosial sebab tak bisa berdiri sendiri sebagai kata selain diletakkan dalam pergaulan sosial. Tak ada muatan arti apa pun dari titip selain merangkum pola hubungan antara satu pihak dan pihak lain.

Titip ternyata terlalu sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Kamus John M Echols dan Hassan Shadily memberi definisi panjang 'entrust something to someone for a short period'. Yang dipakai adalah kata entrust. Oxford sendiri memberi rumusan entrust sebagai 'give something to a person to look after'.

Selebihnya diberikan contoh sana-sini untuk menjelaskan. Kalau ke Indonesia nanti, saya titip oleh-oleh buat adik saya (When you go to Indonesia, can I entrust a present for my sister to you?) Seseorang yang minta titip dibelikan tiket akan berkata, Could you pick up a ticket for me later? Yang hendak menitip tas akan berkata, I will leave my bag here in your custody, okay? Kata benda titipan diterjemahkan sebagai entrusted goods.

Terlalu banyak definisi mencirikan kata tersebut sulit dialihbahasakan. Selain nihil padanan yang persis, sangat mungkin kata tersebut nyaris tak ada dalam kamus pergaulan sosial mereka. Budaya titip agaknya khas masyarakat kita saja.

Di Yogyakarta ada seorang guru besar dari Belanda yang tak bosan marah saban mahasiswa mengumpulkan makalah hanya dengan menitipnya kepada orang lain. Peragaan paling mencolok terjadi di lembaga pemerintahan. Sudah lama sekali prosedur titip-menitip bersifat eksklusif sekaligus intern. Di kalangan terbatas budaya titip sangat germinatif. Sebaliknya, DPR cenderung alergi bila dititipi suara rakyat. Lingkaran intimitas relasional memang sangat terjaga buat kebutuhan primordial saja.

Yang semula bersuasana ekonomis bergeser menjadi identitas kultural. Dalam lanskap inilah literatur Wittgenstein tentang permainan bahasa afdal. Sosialitas menjadi variabel paling mumpuni dalam menentukan jenis representasi budaya. Dan budaya titip merupakan representasi dari sintaksis keluarga.

Dalam bukunya, Young Heroes the Indonesian Family in Politics, Saya Sasaki Shiraishi menunjuk keluarga sebagai sintaksis masyarakat bangsa. Indonesianis asal Jepang itu membuktikan bahwa ideologi keluarga dipakai sebagai dasar bangunan bangsa. Bangsa tak lain sebuah keluarga besar.

Genealogi sintaks keluarga ini ditemukan pada Ki Hajar Dewantara yang mendirikan pendidikan Taman Siswa. Slogan abadi dipakai: ing ngarso sung tuladha ing madya mangun karsa tut wuri handayani.

Dalam perjalanan, salahtafsir terjadi atas filofosi tersebut. Distorsi paling gemilang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Secara faktual lingkaran kekuasaan begitu eksklusif. Mereka yang berada dalam kisaran kekuasaan pasti makmur. Sistem kroni berkembang subur. Status sebagai anggota keluarga dibuat dengan merentang sekian matarantai relasi. Secara ringkas, sintaksis keluarga dalam masyarakat bangsa memiliki adagium populer demikian: untuk bisa hidup, tak boleh tak harus punya relasi. Sintaksis keluarga menjadi sistem yang bersifat sosial. Kesuburan praktik KKN berasal dari landasan ideologis ini.

Dalam cara tutur Stuart Hall, setiap ruang bertaraf kebudayaan. Representasi mengacu pada soal bagaimana dunia ini dikonstruksi dan diejawantahkan kepada dan oleh masyarakat. Itu berarti budaya titip menjadi representasi mentalitas pragmatisme masyarakat. Atau, lebih pas bila dipakai istilah budaya malas. Titip-menitip lebih kuat mengarah pada arti malas ketimbang muatan ideologis megah lainnya.

Tak perlulah tersinggung kalau kita disebut bangsa dengan penyakit kemalasan akut. Terlebih lagi, kita telanjur ada dalam zona pemaknaan leksikal: bahasa mencerminkan bangsa.

Penulis Seorang Rohaniman, Seminari Tinggi St Paulus, Yogyakarta

No comments: